Mengenai Saya

Foto saya
seseorang yg tak banyak omong tapi banyak b'kerja, setia pada arti pertemanan, tapi jika di khianati tak akan ada maaf bagimu,

Selasa, 28 Desember 2010

penurunan permukaan tanah

PENURUNAN PERMUKAAN TANAH DI JAKARTA

          
Banyak yang masih tidak percaya, tanah di Jakarta "ambles" dan hal ini, berdampak banyak hal pada penduduk di atasnya.Mengulas topik Penurunan Muka Tanah Di Jakarta dengan narasumber Prof. Hasannudin Z. Abidin , Guru Besar Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Terjadinya perubahan pada permukaan tanah yang kini menjadi isu hangat di media sebenarnya bukanlah hal baru di kalangan peneliti, seperti yang dikatakan oleh Hasan pada IPTEK VOICE saat di wawancara melalui telepon. "Sebenarnya sudah sejak 1982 itu sudah terdeteksi adanya penurunan permukaan tanah dan bahkan jika kita pernah membaca tulisan dari peneliti Belanda yaitu pada tahun 1926 sebenarnya sejak tahun itu sudah ditemukan adanya indikasi bahwa tanah di Jakarta itu menurun," jelas Hasan. Pada saat itu pihak Belanda memiliki pengetahuan yang jauh lebih baik dari pada kita sehingga mereka dapat menemukan hal-hal yang diyakini benar-benar terjadi. "Pertama kali Belanda mengukur pada tahun 1926 dan kemudian mengukur kembali pada tahun 1927 dengan metode sipat datar atau levelling," jelas Hasan. Adapun penyebab hal ini, menurut Hasan karena empat faktor. "Hal ini terjadi karena Pertama, pengambilan air tanah secara berlebihan dari dalam bumi. Kedua, bisa juga karena beban bangunan yang berdiri di atas permukaan tanah. Ketiga, bisa juga karena Kompasti Sedimen adalah terdapatnya lapisan tanah sedimen yang lunak dan perlahan dia akan berkompasti (mengempis-red.) hingga menyebabkan terjadinya perubahan permukaan tanah. Keempat, atau bisa juga dikarenakan tektonik, semua faktor ini pada umumnya dapat terjadi secara bersama-sama,"jelas Hasan. Hasan pun memberikan contoh kasus tentang apa yang terjadi di daerah Jakarta Utara. "Seperti yang terjadi di Jakarta bagian utara, pengambilan air tanah yang berlebihan, kondisi tanah yang berstruktur sendimen kemudian terdapatnya beban bangunan di atas permukaan tanah," tambah Hasan. Menurutnya daerah tersebut termasuk daerah yang aktif pada perubahan permukaan tanah.

"Secara ilmu geodisi sebenarnya ada beberapa metode untuk mengukur perubahan permukaan tanah, seperti dinas pertambangan dan BPPT lakukan pada tahun 1982 sampai 1997 mereka menggunakan metode pengukuran sipat datar atau levelling yaitu dengan cara mengukur tinggi dari suatu titik (misal monumen kenegaraan, etc), metode kedua adalah GPS Surveying dan metode ini lah yang kami dalam hal ini ITB terapkan dalam penelitiannya sejak tahun 1997 hingga sekarang yaitu dengan mengamati secara berkala kurang lebih sebanyak 20 titik di seluruh Jakarta dalam setiap tahun, kami mengamati koordinasi 3 dimensinya, tinggi dari bintang bujur kemudian setiap tahunnya kami analisa lagi untuk melihat adanya penurunan permukaan tanah atau tidak selain metode ini kami juga menggunakan metode InSAR (Interferometric Synthetic, Aperture Radar)  sebenarnya metode ini tidak jauh berbeda dengan yang lain yaitu dengan menggunakan radar dengan cara kerja kurang lebih seperti ini satelit radar memotret Jakarta kemudian kira-kira beberapa bulan kemudian satelit akan mengambil gambar lagi kemudian gambar hasil pemotretan tersebut akan di analisa lebih lanjut untuk mengetahui perubahan yang terjadi," terang Hasan.Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasan dan peneliti lainnya menghasilkan kesimpulan bahwa proses ini akan terus berlanjut di beberapa bagian kota Jakarta, "Memang melalui data-data yang kita dapatkan sampai saat-saat terakhir itu bulan November 2007 menunjukan bahwa penurunan permukaan tanah akan terus berlangsung di beberapa bagian Jakarta," terang Hasan. "Sedangkan daerah yang memiliki catatan penurunan muka tanah paling tercepat adalah daerah Daan Mogot, Kali Deres, dst dengan kecepatan berkisar antara 10-15 centimeter per tahunnya (maximal)," jelas Hasan. Hasan menambahkan bahwa proses ini tidak terjadi di seluruh pelosok Jakarta dan proses ini berhenti jika alam itu sendiri telah menemukan suatu keseimbangan namun dengan catatan tanpa adanya interfensi manusia tentunya, "Saya yakin jika itu adalah proses alam atau berlangsung secara alamiah maka pasti suatu saat akan menemukan suatu keseimbangan dan itu tanpa ada interfensi dari manusia, tetapi kita tidak tahu berapa lama".

Penurunan muka tanah ini bisa berdampak pada makin luasnya area yang terkena banjir dan jika penurunanya tidak merata dapat berakibat retak atau miring bangunan di atasnya. Untuk menghambat laju penurunan muka tanah di Jakarta, harus dilakukan dengan regulasi yang pelaksanaannya harus diawasi dengan ketat, untuk mengurangi penyedotan air tanah secara besar-besaran, membuat daerah-daerah resapan dan Pemda mendorong warganya untuk membuat sumur resapan.


Permukaan Tanah Jakarta Turun 0,8 Cm per Tahun
Permukaan Tanah Jakarta Turun 0,8 Cm per Tahun
PENURUNAN permukaan tanah (keamblesan) di wilayah DKI Jakarta mencapai 0,8 cm per tahun. Angka ini lebih tinggi 60% dibandingkan kenaikan muka air laut yang mencapai 0,57 cm per tahun. Wilayah ini membentang dari Jakarta Utara hingga Kemayoran, Jakarta Pusat.Sehingga tidak mengherankan apabila Jakarta memang langganan banjir.
“Penurunan permukaan tanah disebabkan terlalu agresifnya eksploitasi wilayah dan air tanah di Jakarta.Lalu banjir kiriman dari selatan serta naiknya tinggi muka air laut, tingginya curah hujan, membuat banjir menjadi langganan datang ke Jakarta setiap tahun,”papar Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung Armi Susandi. Armi menambahkan, selain itu 40% wilayah Jakarta saat ini memang berada di bawah tinggi muka air laut rata-rata.
“Secara geografis,Jakarta memang mirip kapal yang dikelilingi air di manamana,” ujarnya. Itu masih ditambah dengan dampak efek pemanasan global membuat tinggi muka air laut di wilayah Jakarta diperkirakan naik menjadi 20 cm pada tahun 2020 dan 6–70 cm pada 2050.Estimasi ini menunjukkan bahwa rendaman air laut pada 2050 akan bertambah lagi sepanjang 2 km ke arah daratan.
Artinya, wilayah Cilincing, Koja,Tanjung Priok,Pademangan, Penjaringan, dan Bandara Soekarno Hatta, dipastikan terendam air laut. Ini masih ditambah dengan pasang laut akibat aktivitas gerhana bulan yang semakin meningkatkan tinggi muka air laut. Ini masih ditambah dengan agresivitas pembangunan yang cukup tinggi. Diperkirakan, dengan keamblesan tanah 0,8 cm per tahun berarti dalam jangka 10 tahun sekitar 8 cm dan 50 tahun sekitar 40 cm, tinggi muka air tanah menurun akibat pembangunan dan eksploitasi air tanah. Meski demikian, bukan berarti tidak ada upaya untuk mengantisipasinya.
Dengan karakter geografis Jakarta yang rawan banjir, pembangunannya bisa dilakukan dengan meniru filosofi kapal. “Kita bisa membuat benteng laut (sea wall) mengelilingi Jakarta, seperti di Belanda dan Singapura.” (abdul malik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar